Sumber Kesaksian: Eti Elisa
Perjuangan sebuah prinsip dari Eti Elisa dimulai ketika ia mendapat telepon bahwa suaminya, Adi Suhasta Elisa berada di rumah sakit dalam keadaan kritis.
4 Mei 2003 saya menerima telepon dari Jakarta karena saat itu saya sedang berada di Palembang. Saya telepon rumah sakit itu, saya tanyakan pada dokternya tentang keadaan kesehatan suami saya. Setelah itu saya ke Jakarta dan saya menyaksikan bahwa mas Adi sudah ada dalam keadaan koma dan kami sudah tidak ada komunikasi lagi dengan mas Adi.
Dokter mengatakan bahwa di batang otak itu ada lima syaraf yang seharusnya berfungsi dalam tubuh manusia, tapi empat syaraf itu telah mati, hanya satu yang berfungsi. Dokter mengatakan bahwa tidak mungkin bagi mas Adi untuk bisa mempertahankan hidupnya.
Eti merasa tertekan dan bingung melihat keadaan suaminya yang tidak menunjukkan perkembangan membaik. Melihat keadaan yang semakin buruk ini, pihak rumah sakit mengusulkan melakukan dialisi melalui perut akan tetapi Eti tidak bisa memutuskan saat itu. Secara medis dokter memang akan berusaha tapi mereka tidak bisa memberikan jaminan bahwa tindakan itu akan membawa perubahan yang baik atau kesehatan mas Adi menjadi lebih baik. Saya tidak bisa memberikan keputusan saat itu sampai akhirnya besok paginya saya mengkomunikasikan dengan keluarga saya dan keluarga mas Adi.
Dr. Tunggul Situmorang menjelaskan keadaan Adi.
Dalam pemeriksaan kita kita dapati bahwa kesadaran bapak Adi telah amat menurun, malah kita memerlukan alat bantu nafas. Beliau mengalami sakit gula yang sudah mengalami komplikasi dengan ginjal dan juga sudah ada gangguan ke sentral. Untuk kasus seperti ini memang yang bisa kita lakukan adalah pengobatan supportif, artinya membantu sekuat mungkin, salah satunya adalah mengobati jalan nafasnya selain tentunya adalah membuang racun-racun yang ada dalam tubuhnya yang diakibatkan fungsi ginjalnya yang sudah menurun itu.
Dengan keadaan kesehatan suami yang tidak berubah, Eti Elisa menjadi semakin tertekan, terlebih ketika keluarga menekannya agar ia memutuskan melepaskan alat bantu yang mendukung kehidupan suaminya itu.
Eni Sriendarti, kerabat Eti menjelaskan alasan usulan ini.
Saya mengarahkan pada Eti : "Sudahlah ti, melihat situasi seperti ini sepertinya tidak ada perkembangan. Cobalah kamu tanda-tangani saja surat untuk melepaskan alat-alat yang ada pada Adi". Kami sebagai keluarga melakukan hal itu karena kami sepertinya sudah capai dalam segala sesuatunya. Kami telah letih dalam menunggunya, memikirkan biaya yang dibutuhkannya setiap harinya. Tapi dia tidak tetap ngotot. Eti tidak bersedia melepaskan, itu seperti ia membunuh suaminya sendiri. Jadi dia tidak mau melakukannya.
Dr. Tunggul Situmorang juga sulit mengambil langkah euthanasia.
Jadi pada bapak Adi telah terpasang alat yang namanya ETT, alat yang membantu agar jalan nafasnya bisa lancar. Nah kalau alat itu dicabut maka jalan nafasnya akan menjadi buruk dan tentunya akan bisa berakibat pada kematian. Ini adalah prosedur yang tidak boleh dilakukan karena itu namanya mengakhiri hidup dengan sengaja secara aktif .
Dalam tekanan, Eti Elisa hanya bisa berserah pada Tuhan.
Pada jam sebelas malam kami berdoa bersama dan saya mengkomunikasikan tekanan yang dilakukan oleh keluarga saya dan keluarga mas Adi bahwa saya harus mencabut alat itu. Saya juga menyampaikan pada dokter dan pada pimpinan saya bahwa sampai kapanpun saya tidak akan mau melakukan hal itu. Karena saya yakin kalau Tuhan memanggil suami saya, mas Adi maka itu akan dilakukan, kalaupun tidak maka Dia juga akan nyatakan hal itu. Saya juga tahu bahwa segala sesuatu ada dalam rencana Tuhan jadi saya tidak mau melakukan hal itu.
Pendeta Nus Reimas ikut berdoa bersama Eti.
Manusia tidak punya hak untuk menghentikan hidup seseorang. Kami dan semua keluarga yang hadir, kita serahkan semuanya kepada tangan Tuhan. Sesudah berdoa sungguh-sungguh, saya bicara pada saudara Adi sendiri. Dua atau tiga jam sesudah itu saya pulang ke rumah dan saya menerima telepon bahwa bapak Adi telah dipanggil oleh Tuhan walaupun semua peralatan medis yang menyokong kelangsungan hidupnya itu masih utuh terpasang.
Akhirnya kehendak Tuhanlah yang terjadi. Malam itu bapak Adi Suhasta Elisa berpulang ke rumah bapak di Surga tanpa harus melepaskan alat bantu kehidupannya.
Damai sejahtera Tuhan melingkupi Eti Elisa.
Ketika saya menolak mencabut alat bantu di tubuh mas Adi waktu itu, saya yakin bahwa saya tidak akan mendahului kehendak Tuhan. Justru pada saat itu Tuhan menyatakan kehendakNya sehingga saya terbebas dari perasaan bersalah, bahkan Tuhan memberikan rasa damai sejahtera dalam kehidupan saya.
Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku. (Filipi 1:20)